Kamis, 18 Agustus 2011

Keselarasan “ Harmoniy in Diversity”



Konsep keselarasan atau keharmonisan sebenarnya tidak begitu nampak secara nyata dalam perilaku hidup sehari-hari masyarakat Jawa. Namun, prinsip keselarasan itu lebih pada konsep metafisis yang menjiwai seluruh dinamika masyarakat Jawa. Bagaikan sebuah titik yang daripadanya menyinari segala proses dinamika atau tindakan masyarakat Jawa semua. Lebih dalam bisa kita katakan bahwa keselarasan merupakan inti dari seluruh budaya Jawa. Hal ini ditegaskan lebih ditegaskan oleh Mulder dalam bukunya Kebatinan Dan Hidup sehari-hari Orang Jawa bahwa cita-cita masyarakat Jawa pada hakekatnya adalah masyarakat yang harmonis (Mulder, 1983).
Bagi orang Jawa, keselarasan sosial atau keharmonisan merupakan sebuah rangkaian besar agar terjadinya kesejahteraan hidup bersama. Karena kesejahteraan terikat secara mutlak pada keselarasan sosial, antara sesama yang Ilahi, alam dan sesama manusia. Dengan demikian menjadi jelaslah peran penting dari keselarasan sosial.
Dalam memahami konsep keselarasan kita akan berangkat dari dua nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa. Nilai-nilai tersebut adalah rukun dan rasa hormat. Kedua nilai inilah yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa dalam dinamika hidup sehari-hari. Lebih kontekstual lagi dengan tema keselarasan adalah bahwa dalam kedua nilai inilah konsep keselarasan dibahas dengan jelas. Menurut Geertz, prinsip rukun dan hormat dalam masyarakat Jawa merupakan kaidah dasar yang paling menentukan dalam pola hidup masyarakat Jawa.
Pertama, nilai rukun. Masyarakat Jawa memegang teguh bahwa rukun merupakan sebuah kondisi untuk mempertahankan kondisi masyarakat yang harmonis, tentram, aman, dan tanpa perselisihan. Masyarakat jawa berusaha sebisa mungkin menjaga kerukunan dalam lingkungannya. Berusaha bagaimana terjadinya keharmonisan dalam masyarakat luas. Perlu menjadi catatan penting bahwa individu dipandang tidak terlalu penting dalam kedudukan sosial. Individu harus selalu berusaha mementingkan sosial yang lebih luas dan bukan pribadinya sendiri. Setiap pribadi dituntu sikap untuk tidak mengacaukan keseimbangan sosial demi ambisi atau kepentingannya pribadi. Selain itu juga dituntutlah sebuah sikap yang sering disebut nrimo dalam setiap masyarakat Jawa. Dalam artian setiap individu harus punya sikap pasrah terhadap sebuah kekuatan yang lebih tinggi, menyadari bahwa hidupnya adalah bagian dari masyarakat luas (Mulder, 1983).
Kerukunan dengan alam dan lingkungan masyarakat oleh masyarakat Jawa dipandang mampu membawa ketenteraman, kenyamanan, dan kedamaian hidup. Inti prinsip kerukunan adalah tuntutan untuk mencegah segala kelakuan yang bisa menimbulkan konflik terbuka (Magnis, 1988). Dengan demikian akan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama dalam dinamika hidup sehari-hari. Secara sederhana, indikator kerukunan adalah ketika semua pihak dalam kelompok berdamai satu sama lain.
Kedua, rasa hormat. Nilai ini berkaitan erat dalam hubungannya dengan orang lain, dengan kata lain mencakup relasi sosial. Lebih dalam, bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat sebuah hirarki yang membatasi mereka untuk bersikap kepada orang lain. Prinsip hormat berhubungan erat dengan masyarakat yang teratur secara hirarkis. Misalnya, hubungan antara orang tua-anak dan antar teman sebaya. Dalam masyarakat Jawa hal tersebut telah terungkap jelas melalui bahasa yang mereka gunakan untuk menyebut atau berbicara dengan orang yang lebih tua.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam mengembangkan sikap hormat ini adalah mempunyai kesadaran akan kedudukan sosialnya. Masyarakat Jawa sejak dini telah menanamkan kesadaran akan kedudukan social ini kepada anak-anaknya. Penanaman kesadaran ini terungkap secara langsung dalam berberapa bentuk sikap, yaitu wedi, isin, dan sungkan. Sikap wedi yang berarti takut pertama-tama ditanamkan untuk orang-orang yang harus dihormati. Selanjutnya sikap isin berarti malu ádalah langkah pertama ke arah kepribadian Jawa yang matang (Magnis, 1988). Sikap isinini berarti malu terhadap kesalahan, malu jika tidak menghormati orang yang pantas dihormati, dan sebagainya. Kemudian sikpa sungkan yang sebenarnya erat sekali dengan sikap malu, sungkan mempunyai makna yang lebih positif. Wedi, isin,dan sungkan merupakan sebuah sikap yang berkesinambungan yang mempunyai fungsi sosial untuk mendukung psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.